Minggu, 20 Februari 2011

IKAN KUTUK


IKAN KUTUK / IKAN GABUS adalah sejenis ikan buas yang hidup di air tawar. Ikan ini dikenal dengan banyak nama di pelbagai daerah: aruan, haruan (Mly.,Bjn), kocolan (Btw.), bogo (Sd.), bayong, bogo, licingan (Bms.), kutuk (Jw.), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris juga disebut dengan berbagai nama seperti common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead, striped snakehead dan juga aruan. Nama ilmiahnya adalah Channa striata.
Ikan darat yang cukup besar, dapat tumbuh hingga mencapai panjang 1 m. Berkepala besar agak gepeng mirip kepala ular (sehingga dinamai snakehead), dengan sisik-sisik besar di atas kepala. Tubuh bulat gilig memanjang, seperti peluru kendali. Sirip punggung memanjang dan sirip ekor membulat di ujungnya.

Sisi atas tubuh --dari kepala hingga ke ekor-- berwarna gelap, hitam kecoklatan atau kehijauan. Sisi bawah tubuh putih, mulai dagu ke belakang. Sisi samping bercoret-coret tebal (striata, bercoret-coret) yang agak kabur. Warna ini seringkali menyerupai lingkungan sekitarnya. Mulut besar, dengan gigi-gigi besar dan tajam.

Kebiasaan

Ikan gabus biasa didapati di danau, rawa, sungai, dan saluran-saluran air hingga ke sawah-sawah. Ikan ini memangsa aneka ikan kecil-kecil, serangga, dan berbagai hewan air lain termasuk berudu dan kodok.
Seringkali ikan gabus terbawa banjir ke parit-parit di sekitar rumah, atau memasuki kolam-kolam pemeliharaan ikan dan menjadi hama yang memangsa ikan-ikan peliharaan di sana. Jika sawah, kolam atau parit mengering, ikan ini akan berupaya pindah ke tempat lain, atau bila terpaksa, akan mengubur diri di dalam lumpur hingga tempat itu kembali berair. Oleh sebab itu ikan ini acap kali ditemui ‘berjalan’ di daratan, khususnya di malam hari di musim kemarau, mencari tempat lain yang masih berair. Fenomena ini adalah karena gabus memiliki kemampuan bernapas langsung dari udara, dengan menggunakan semacam organ labirin (seperti pada ikan lele atau betok) namun lebih primitif.
Pada musim kawin, ikan jantan dan betina bekerjasama menyiapkan sarang di antara tumbuhan dekat tepi air. Anak-anak ikan berwarna jingga merah bergaris hitam, berenang dalam kelompok yang bergerak bersama-sama kian kemari untuk mencari makanan. Kelompok muda ini dijagai oleh induknya.

Penyebaran
Ikan gabus menyebar luas mulai dari Pakistan di barat, Nepal bagian selatan, kebanyakan wilayah di India, Bangladesh, Sri Lanka, Tiongkok bagian selatan, dan sebagian besar wilayah di Asia Tenggara termasuk Indonesia bagian barat.

Manfaat dan Kerugian
Sebetulnya ikan gabus memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Ikan-ikan gabus liar yang ditangkap dari sungai, danau dan rawa-rawa di Sumatra dan Kalimantan kerap kali diasinkan sebelum diperdagangkan antar pulau. Gabus asin merupakan salah satu ikan kering yang cukup mahal harganya. Selain itu ikan gabus segar, kebanyakan dijual dalam keadaan hidup, merupakan sumber protein yang cukup penting bagi masyarakat desa, khususnya yang berdekatan dengan wilayah berawa atau sungai.
Ikan gabus juga merupakan ikan pancingan yang menyenangkan. Dengan umpan hidup berupa serangga atau anak kodok, gabus relatif mudah dipancing. Namun giginya yang tajam dan sambaran serta tarikannya yang kuat, dapat dengan mudah memutuskan tali pancing.
Akan tetapi ikan ini juga dapat sangat merugikan, yakni apabila masuk ke kolam-kolam pemeliharaan ikan (Meskipun beberapa kerabat gabus di Asia juga sengaja dikembangbiakkan sebagai ikan peliharaan). Gabus sangat rakus memangsa ikan kecil-kecil, sehingga bisa menghabiskan ikan-ikan yang dipelihara di kolam, utamanya bila ikan peliharaan itu masih berukuran kecil.
Sejak beberapa tahun yang lalu di Amerika utara, ikan ini dan beberapa kerabat dekatnya yang sama-sama termasuk snakehead fishes diwaspadai sebagai ikan berbahaya, yang dapat mengancam kelestarian biota perairan di sana. Jenis-jenis snakehead sebetulnya masuk ke Amerika sebagai ikan akuarium. Kemungkinan karena kecerobohan, maka kini snakehead juga ditemui di alam, di sungai-sungai dan kolam di Amerika. Dan karena sifatnya yang buas dan invasif, Pemerintah Amerika khawatir ikan-ikan itu akan cepat meluas dan merusak keseimbangan alam perairan.

Ikan Kutuk/Gabus bagi kesehatan
Diketahui bahwa ikan ini sangat kaya akan albumin, salah satu jenis protein penting. Albumin diperlukan tubuh manusia setiap hari, terutama dalam proses penyembuhan luka-luka. Pemberian daging ikan gabus atau ekstrak proteinnya telah dicobakan untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah dan membantu penyembuhan beberapa penyakit. 


Profil Dahlan Iskan

Dahlan Iskan (lahir tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur), adalah CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos News Network, yang bermarkas di Surabaya. Ia juga adalah Direktur Utama PLN sejak 23 Desember 2009.
Karir Dahlan Iskan dimulai sebagai calon reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1975. Tahun 1976, ia menjadi wartawan majalah Tempo. Sejak tahun 1982, Dahlan Iskan memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang.
Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar.
Lima tahun kemudian terbentuk Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada tahun 1997 ia berhasil mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya, dan kemudian gedung serupa di Jakarta.
Pada tahun 2002, ia mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru.
Sejak akhir 2009, Dahlan diangkat menjadi direktur utama PLN menggantikan Fahmi Mochtar yang dikritik karena selama kepemimpinannya banyak terjadi mati lampu di daerah Jakarta. Selain sebagai pemimpin Grup Jawa Pos, Dahlan juga merupakan presiden direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta: PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Surabaya.
sumber : http://id.wikipedia.org
Beranda > Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver > Ingin Naikkan Albumin, Berburu Banyak Ikan Kutuk
Ingin Naikkan Albumin, Berburu Banyak Ikan Kutuk
September 16, 2007
Ingin Naikkan Albumin, Berburu Banyak Ikan Kutuk
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (22)
Oleh:
Dahlan Iskan
iskan@jawapos.co.id
SETELAH hati mantap melakukan transplantasi, barulah saya menentukan langkah. Ada tiga yang harus dipertimbangkan. Kehebatan dokter, kesediaan donor, dan ketepatan rumah sakitnya. Dari situ baru kami tentukan tempatnya. Tiga faktor itu saya sebut sebagai “persyaratan mutlak”. Lalu masih ada sejumlah “persyaratan keinginan”. Misalnya, kedekatan dengan Indonesia, kedekatan budaya, dan kedekatan bahasa.

Saya sudah terbiasa, dalam setiap akan mengambil keputusan, menjalankan satu proses yang disebut problem solving. Satu proses untuk melakukan pembobotan dan penilaian atas semua pilihan. Lalu mengalikan bobot dan nilai. Hasil perkalian tertinggi, itulah pilihan terbaik. Saya pernah disekolahkan untuk itu di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) ketika saya masih jadi wartawan majalah berita mingguan TEMPO.
Proses manajemen itu kemudian saya bawa juga ke dalam jurnalistik. Saya ajarkan sebagai doktrin di Jawa Pos. Itulah yang membedakan wartawan Jawa Pos dengan wartawan lain. Wartawan Jawa Pos harus menjalankan ’10 rukun iman’ atau ’Ten Commandments” yang saya tentukan. Itulah salah satu sumbangan ilmu manajemen ke dalam praktik jurnalistik di Jawa Pos. Tentu hal ini tidak diajarkan di fakultas publisistik atau di akademi wartawan. Mungkin tidak akan diakui sebagai salah satu teori jurnalistik, tapi saya tidak peduli.
Proses yang sama saya terapkan dalam melakukan analisis problem-solving atas tekad saya yang sudah mantap melakukan transplantasi liver. Maka, tim menyeleksi dokter-dokter ahli transplantasi di dunia: Australia, Amerika, Jepang, Singapura, Belanda, dan Tiongkok. Dari masing-masing negara kita pilih satu nama. Kita pelajari track record-nya. Juga, terutama, umurnya. Saya ingin dokter yang berpengalaman, tapi masih muda. Tangan anak muda, menurut logika saya, akan lebih firm ketika memegang pisau bedah. Saya memang sangat pro anak muda. Saya percaya hanya yang muda yang bisa diajak balapan di segala bidang.
Dari proses itulah lantas kami pilih dokter ini. Umurnya masih 52 tahun dan badannya tinggi tegap. Penampilannya meyakinkan. Urat-uratnya kukuh, mengindikasikan akan kuat dalam menghadapi tekanan mental maupun fisik. Pengalamannya juga luar biasa. Sudah melakukan tranplantasi liver lebih dari 500 kali. Bahkan, sudah membukukan beberapa rekor: Rekor terbanyak, rekor transplantasi tanpa transfusi darah, rekor transplantasi untuk pasien usia dini (3 tahun), transplantasi untuk pasien tertua (76 tahun). Dia memperoleh pendidikan khusus untuk ini di Jepang. Boleh dikata, dialah dokter Tiongkok yang paling jago di bidang transplantasi liver.
Tapi, masih ada satu yang meragukan. Padahal, yang saya ragukan ini masuk dalam ’persyaratan mutlak’. Artinya, mau tidak mau harus dipenuhi. Kalau hanya masuk ’persyaratan keinginan’, barangkali bisa diabaikan. Apa itu? Tempat! Apakah di Tiongkok ada rumah sakit yang bagus sekali? Bukankah rumah sakit di sana terkenal joroknya?
Untuk ini Robert Lai memeriksa rumah sakit tempat dokter itu berada. Yakni, di satu kota di belahan utara Tiongkok. Untuk Indonesia kota ini tidak populer, tapi saya sudah mengenalnya dengan sangat baik. Berkali-kali saya ke kota itu. Kunjungan pertama saya ke sana sekitar 10 tahun lalu.
Hasil kunjungan Robert Lai sangat memberi harapan. Khususnya tower yang baru. Sangat bersih dan terawat. Alat-alatnya juga amat modern. Dan, reputasinya yang tinggi sebagai pusat transplantasi liver sudah sangat terkenal. Saya sendiri pun lantas mengunjunginya. Saya langsung jatuh cinta pada kunjungan pertama. Hati saya mantap sekali.
Masih juga ada satu pertanyaan: maukah dia menangani saya? Ada waktukah dia? Inilah tugas Robert berikutnya. Dan, dia selalu berhasil menjalankan misinya. Maka sudah tidak tengok sana-sini lagi: Di sinilah saya akan melakukan transplantasi liver. Saya mengenal baik kotanya, mengenal baik budayanya, dan sedikit banyak sudah bisa berkomunikasi dengan bahasanya.
Sungguh tak terbayangkan bahwa tekad saya untuk belajar bahasa Mandarin lima tahun lalu ternyata saya sendiri yang akan memetik manfaat terbesarnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau saya tidak bisa sedikit-sedikit berbahasa Mandarin.
Memang, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Jepang dan orang dari negara-negara Arab, bisa saja mempekerjakan juru bahasa. Namun, tidak akan semulus kalau diri sendiri yang tahu bahasa itu. Bahkan, karena hampir selalu berbahasa Mandarin, saya sering tidak dianggap orang asing. Apalagi sosok saya yang sosok Asia. Bahwa kulit saya agak hitam, banyak juga orang dari wilayah selatan atau dari Hainan yang juga berkulit seperti saya.
Robert juga langsung memesan kamar terbaik, yang ada ruang tamunya, dapurnya, saluran internet-nya. Dia tahu saya tidak akan bisa hidup tanpa jaringan internet. Robert juga langsung menyewa apartemen untuk setahun, membeli mobil, mencari sopir, pembantu rumah tangga, dan juru masak. Dia tahu belum tentu transplantasi bisa dilakukan segera. Problem transplantasi adalah di kesediaan donor. Masa menunggu tidak bisa ditentukan.
Keluarga saya, dan juga Robert, tinggal di apartemen. Saya tinggal di rumah sakit. Istri saya tidur di ruang tamu. Untuk membunuh waktu saya memutuskan meneruskan belajar bahasa Mandarin. Dua kali sehari. Pagi 2 jam, sore 2 jam. Guo Qiang mencarikan gurunya: tiga gadis yang masih kuliah di tahun terakhir IKIP setempat.
Istri saya sering melihat bagaimana saya belajar. Lalu dia sumpek sendiri membayangkan sulitnya. Dia memilih mendengarkan lagu-lagu kasidah dari CD yang dia bawa. Atau mendengarkan ayat-ayat Alquran yang kasetnya dia beli di Makkah. Yakni, ayat-ayat mulai Al Fatihah sampai terakhir surat An Nas dari imam salat tarawih di Masjidilharam. Sudah beberapa tahun saya dan istri selalu di Makkah saat akhir Ramadan.
Kalau akhir pekan, saya pamit ke kota lain. Saya tahu tidak ada operasi pada Sabtu dan Minggu. Pada hari-hari seperti itu saya terbang ke provinsi lain. Saya boleh terbang-terbang asal masih dalam radius empat jam penerbangan. Maksudnya, kalau ada sesuatu yang mendadak (misalnya, tiba-tiba ada donor), saya bisa kembali segera.
Badan saya memang sangat sehat secara fisik lahiriah. Karena itu, saya sering lupa kalau di lengan saya sudah dipasangi selang kecil yang ujungnya ada di dekat jantung. Selang infus itu diperlukan kalau tiba-tiba harus transplan, sudah lebih siap.
Suatu saat saya ke Kota Dalian, satu jam penerbangan dari kota ini. Di salah satu plaza di sana, ada penjual raket squash dengan bola yang diikat tali karet. Kita bisa mencoba main squash tanpa harus lari-lari mengejar bola. Saya lupa akan selang infus di lengan saya. Saya main squash cukup lama. Keesokan harinya lengan saya sakit sekali. Sepanjang selang itu (mulai dari lengan sampai dada) kemeng sekali.
Suatu malam saya tidak bisa tidur. Pasien dari negara Arab di sebelah kamar saya berteriak-teriak sepanjang malam. Apakah dia sudah terkena kanker? Apakah kankernya sudah sampai ke kepala sehingga mengganggu otaknya?
Paginya dia berteriak-teriak lagi. Saya mencoba menengoknya. Tahulah saya bahwa dia masih diikat di ranjang. Ini penting untuk kesehatannya sendiri. Ternyata dia berontak karena ada janji, pagi-pagi ikatan sudah akan dilepas. Tapi, ternyata tidak. Rupanya rumah sakit masih khawatir dia akan berontak sehingga terus diikat. Siangnya, saya tahu lebih jelas mengapa dia berontak. Ini saya ketahui setelah saya bicara kepadanya dalam bahasa Arab. Dia memang tidak bisa berbahasa Inggris. Bahasa Arab saya sudah banyak yang hilang sehingga perlu waktu lama untuk mengingat banyak kata yang jarang dipakai.
Ternyata pasien itu ingin menelepon keluarganya, tapi tidak diizinkan. Yang tidak mengizinkan adalah kerabat yang menunggunya. Mungkin untuk menghemat pulsa, mungkin juga karena sering telepon memang tidak baik bagi pasien seberat dia.
Ketika penunggunya lagi pergi, dan melihat saya bisa bicara Arab, dia minta tolong saya untuk memberi tahu perawat agar membantunya menelepon keluarga. Dia lantas menyodorkan hand phone yang rupanya tidak dibawa pergi oleh penunggunya. Ternyata dia juga sudah mengantongi secuil kertas lusuh berisi nomor telepon.
Tapi, angka-angka itu angka Arab. Dia mendiktekannya ke suster dengan bahasa Inggris yang amat tidak jelas. Tapi, setiap kali nomor itu dihubungi selalu gagal nyambung. Dia mulai kesal dan uring-uringan. Akhirnya saya rayu dia untuk memberikan cuilan kertas itu. Tahulah saya bahwa angka yang dipijit kurang satu digit. Mengapa? Ini karena ada satu titik di belakang angka-angka itu. Suster tidak tahu dan pasien juga tidak jelas melihatnya. Saya menyarankan agar menambah “nol” di pijitan terakhir. Titik, dalam huruf Arab, berarti nol. Ternyata nyambung. Luar biasa senangnya.
Sambil menunggu dan menunggu, saya terus menjaga kondisi. Badan saya harus sehat. Saya melakukan senam dan tidak mengenakan baju pasien. Para suster bilang bahwa saya ini bukan seperti orang sakit. “Saya memang tidak sakit. Saya hanya perlu transplantasi liver,” gurau saya kepada mereka.
Dalam masa penantian itu saya tidak boleh terkena flu. Karena flu saja bisa mengurangi potensi kesuksesan transplantasi. Saya juga harus menjaga agar protein di darah saya, terutama albumin, tidak terus merosot. Untuk menambah protein banyak sumbernya. Mulai daging, putih telur sampai ikan. Tapi, meningkatkan albumin luar biasa sulitnya.
Berminggu-minggu kami mendalami internet untuk mengetahui makanan apa saja yang bisa menaikkan albumin. Tidak ketemu. Di Tiongkok, yang biasa menyediakan menu ribuan macam di internet mereka dalam bahasa Mandarin, juga tidak ditemukan satu pun jenis makanan yang dimaksud. Satu-satunya sumber albumin adalah sahabat kecil saya dulu di desa: ikan kutuk. Di Kalimantan disebut ikan gabus. Dalam bahasa Inggris dikatakan “ikan kepala ular”, karena bentuknya seperti ular yang amat pendek.
Saya menghubungi guru besar Unibraw, Malang, Prof Eddy Suprayitno. Satu-satunya orang yang melakukan penelitian terhadap ikan kutuk. Setelah penjelasannya meyakinkan, mulailah saya minta istri saya berburu kutuk setiap hari. Penjual ikan di Pasar Rungkut hafal betul dengan istri saya. Entah sudah berapa ton saya mengonsumsi sop kutuk.
Saya lupa bertanya apakah Prof Suprayitno sudah mematenkan penelitiannya dan memikirkannya untuk sebuah industri. Yang saya tahu kehidupan Prof Suprayitno amat sederhana, sebagaimana umumnya guru besar di Indonesia.
Di Tiongkok, peneliti seperti itu jadi kaya raya. Satu orang yang meneliti satu jenis tanaman liar yang disebut ’tear drop’ (di desa saya dulu disebut manikan, sering untuk tasbih) kini menjadi orang terkaya nomor 200 di Tiongkok. Sebab, buah manikan ternyata mengandung khasiat antikanker. Seorang peneliti padi yang dulu hidup di desa selama 20 tahun, kini menjadi pemegang saham perusahaan pembibitan dengan aset triliunan rupiah.
Ikan kutuk ternyata tidak ada di tempat lain. Jadi amat berharga. Tapi, karena saya akan tinggal lama di Tiongkok, tentu saya akan kesulitan membawa kutuk ke sana. Lalu muncul di pikiran, masak tidak ada kutuk di Tiongkok. Maka saya mencari kutuk di sana. Di setiap kota yang saya singgahi saya perlukan untuk mengunjungi pasar ikannya: di Nanchang, di Nanjing, di Wuhan, di Harbin, di Dalian, di Qingdao, dan seterusnya. Tapi, saya tidak menemukannya.
Di Nanchang, teman saya di pelosok desa mengabarkan di desanya banyak ikan kutuk. Saya pernah ke desa itu sebelum tahu bahwa saya punya sirosis. Ketika saya ke Nanchang, dia datang dengan bapaknya sambil membawa satu ember ikan. Dia naik kendaraan umum selama satu jam untuk bisa sampai ke kota. Bapak teman saya, dengan bahasa daerah yang tidak saya mengerti, menjelaskan panjang lebar bagaimana satu hari tadi dia berusaha mencari ikan satu ember itu.
Saya berterima kasih padanya. Saya mengatakan “benar”, itulah ikan yang saya cari. Tapi, sebenarnya bukan. Bentuknya memang persis kutuk, tapi bukan kutuk. “Kutuk Tiongkok” ini lebih hitam. Karena itu, di sana disebut “hei yu” -”hei” artinya hitam, “yu” artinya, Anda bisa menduga sendiri. Kandungan daging “hei yu” tidak sama dengan kutuk di Jawa.
Di Kalimantan lebih lengkap. Kutuk, yang di sana disebut ikan gabus, sangat banyak. “Hei yu” juga banyak. “Hei yu”, yang kalau di Kalimantan disebut ikan tomang, juga bisa tumbuh besar sampai kuat merusak perahu kayu kecil-kecil. Tapi, dagingnya hambar. “Hei yu” di Kalimantan lebih banyak dimanfaatkan untuk ikan asin. Sedangkan ikan gabus yang manis, enak sekali dimasak bumbu bali, dimakan dengan nasi kuning.
Selama di Tiongkok saya kesulitan sumber albumin ini. Padahal, mempertahankan albumin menjadi amat penting. Dalam keadaan normal, liver bisa memproduksi albumin. Tapi, karena liver saya rusak, sungguh sulit mengatasinya. Akhirnya, agar badan tetap sehat, saya memutuskan untuk selalu makan banyak. Enak tidak enak sudah tidak penting lagi. Badan saya harus sehat menghadapi operasi besar. Ibaratnya saya harus seperti kerbau yang akan dijual untuk disembelih: Harus sehat dan gemuk. 
 
ALBUMIN

Kamis, 08 Januari 2009 00:00
Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar 60 persen. Protein yang larut dalam air dan mengendap pada pemanasan itu merupakan salah satu konstituen utama tubuh. Ia dibuat oleh hati. Karena itu albumin juga dipakai sebagai tes pembantu dalam penilaian fungsi ginjal dan saluran cerna.Kalau Anda sulit membayangkan rupa albumin, bayangkanlah putih telur.
Berat molekulnya bervariasi tergantung spesiesnya—terdiri dari 584 asam amino. Golongan protein ini paling banyak dijumpai pada telur (albumin telur), darah (albumin serum), dalam susu (laktalbumin). Berat molekul albumin plasma manusia 69.000, albumin telur 44.000, dalam daging mamalia 63.000.
Albumin memiliki sejumlah fungsi. Pertama, mengangkut molekul-molekul kecil melewati plasma dan cairan sel. Fungsi ini erat kaitannya dengan bahan metabolisme—asam lemak bebas dan bilirubuin—dan berbagai macam obat yang kurang larut dalam air tetapi harus diangkat melalui darah dari satu organ ke organ lainnya agar dapat dimetabolisme atau diekskresi. Fungsi kedua yakni memberi tekanan osmotik di dalam kapiler.
Albumin bermanfaat dalam pembentukan jaringan sel baru. Karena itu di dalam ilmu kedokteran, albumin dimanfaatkan untuk mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang terbelah, misalnya karena operasi, pembedahan, atau luka bakar. Faedah lainnya albumin bisa menghindari timbulnya sembab paru-paru dan gagal ginjal serta sebagai carrier faktor pembekuan darah.
Pendeknya, albumin memiliki aplikasi dan kegunaan yang luas dalam makanan atau pangan serta produk farmasi. Dalam produk industri pangan albumin, antara lain, berguna dalam pembuatan es krim, bubur manula, permen, roti, dan podeng bubuk.
Sedangkan dalam produk farmasi, antara lain, dimanfaatkan untuk pengocokan (whipping), ketegangan, atau penenang dan sebagai emulsifier. Kadar albumin yang rendah dapat dijumpai pada orang yang menderita: penyakit hati kronik, ginjal, saluran cerna kronik, infeksi tertentu.
Terakhir di update pada Jumat, 11 Juni 2010 20:52
  ***********************
Berbagai Penyakit yang dapat diatasi

Selasa, 06 Januari 2009 23:06
Kekurangan albumin dalam tubuh
Dapat menambah albumin dalam tubuh, tanpa perlu khawatir kelebihan albumin, karena terbuat dari bahan alami, sehingga apabila kelebihan akan dibuang dengan sendirinya oleh tubuh melalui saluran pembuangan tanpa efek samping pada tubuh, serta aman untuk penderita kolesterol karena mengandung asam lemak tak jenuh, dan aman untuk penderita ginjal.
Jantung
Mengandung allisin untuk menurunkan kadar lemak dalam darah dan trigliserida, sehingga mengurangi resiko terhadap stroke, serangan jantung, penyempitan pembuluh darah serta untuk menurunkan kadar homosistesin dalam darah yang menjadi penyebab penyakit jantung. Mengandung praline yang bertujuan untuk menguatkan otot-otot jantung.
Kanker
Mengandung zat aktif allyl sulfide yang dapat menghambat pertumbuhan hormone pemicu tumbuhnya sel kanker pada tubuh kita.
Liver
Dapat memperbaiki jaringan organ hati. Mengandung asam amino dan vitamin untuk organ hati dan mengontrol pengumpulan lemak di hati dan regenerasi sel hati dan kandung empedu.
Asma
Memperbaiki sel-sel saluran pernafasan (bronchus).
Lupus
Memperbaiki otot, otak, dan sitem syaraf pusat serta sisitem kekebalan tubuh pada tubuh kita.
Luka bakar
Mengandung cystine yang didukung oleh asam amino lainnya, sangat baik untuk pemulihan luka bakar, gangguan kulit, pasca operasi / pembedahan dan anti penuaan.
Otak
Baik untuk membantu mengatur perbaikan jaringan organ otak yang rusak / cedera otak / pasca stroke / parkinson.
Diabetes mellitus
Memperbaiki jaringan sel pankreas yang mulai rusak, sehinggga organ pankreas dapat tetap menghasilkan hormone insulin kembali normal, dan membantu menstabilkan kadar gula dalam darah bagi penderita hipoglikemi.
Luka
Membantu pemulihan luka dalam maupun luar, karena sifatnya memperbaiki jaringan organ tubuh yang melepas radikal bebas.
Pada saat masa kemoterapidan radioterapik
Mengurangi dan mencegah efek-efek yang kurang baik dari kerja kemoterapi dan radioterapi, dan radioterapi seperti badan terasa lemas, lemah, kerusakan bagian tubuh, dan mual. tanpa mengurangi fungsi kerja kemoterapi dan radioterapi itu sendiri.
Stroke
Setelah mengalami serangan stroke, beberapa bagian tubuh akan mengalami kelemahan fungsi, bahkan bisa berakibat tidak berfungsinya beberapa bagian tubuh, alkuten membantu membuka pembuluh darah yang tersumbat dan memperbaiki jaringan organ tubuh yang penting untuk otot, otak dan sistem syaraf sehingga menguatkan sistem kekebalan tubuh serta menjadi anti radikal bebas.
Persendian / tulang
Mengandung proline yang sangat baik untuk memicu berfungsinya sendi-sendi, dan juga mengandung lysin yang berfungsi memastikan penyerapan kalsium yang memadai dan mempermudah pembentukan kolagen yang bisa membungkus tulang rawan dan jaringan penyambung, juga mendorong percepatan penyembuhan tulang.
Pencernaan
Membantu fungsi saluran pencernaan dan usus agar dapat bekerja baik.
Depresi
Asam amino threonine dan asam amino tyrosine yang digunakan oleh kelenjar tiroid untuk memproduksi salah satu hormone utama untuk metabolisme kesehatan kulit Dan mental, untuk mengatasi depresi.
Prostate
Menjaga sistem syaraf pusat, bagi kaum laki-laki, glycine memainkan peran penting esensial untuk menjaga fungsi-fungsi prostate agar tetap sehat.
Manula
Alkuten menyebabkan pencernaan dapat menyerap makanan dengan baik dan akan meregenerasi / membaharui semua sel-sel atau jaringan tubuh kita yang mulai kurang berfungsi dengan baik, sehingga para manula akan menjadi sehat kembali dan tidak mudah sakit.
  
Ikan gabus atau ikan kutuk (lokal) akhir-akhir ini mendapat perhatian dari masyarakat, khususnya untuk bidang kesehatan. Sebab, ikan kutuk merupakan salah satu bahan pangan alternatif sumber albumin bagi penderita hipoalbumin (rendah albumin) dan luka. Baik luka pascaoperasi maupun luka bakar.
Bahkan, di daerah pedesaan, anak laki-laki pasca dikhitan selalu dianjurkan mengonsumsi ikan jenis itu agar penyembuhan lebih cepat. Caranya, daging ikan kutuk dikukus atau di-steam, sehingga memperoleh filtrate, yang dijadikan menu ekstra bagi penderita hipoalbumin dan luka. Pemberian menu ekstrak filtrat ikan kutuk tersebut berkorelasi positif dengan peningkatan kadar albumin plasma dan penyembuhan luka pascaoperasi.
Fenomena ikan kutuk tersebut pernah diangkat dalam satu penelitian khusus oleh Prof Dr Ir Eddy Suprayitno MS, guru besar ilmu biokimia ikan Fakultas Perikanan Unibraw pada 2003. Dalam penelitian berjudul Albumin Ikan Gabus (Ophiochepalus striatus) sebagai Makanan Fungsional Mengatasi Permasalahan Gizi Masa Depan, Eddy mengupas habis tentang potensi ikan gabus. “Dilihat dari kandungan asam aminonya, ikan gabus memiliki struktur yang lebih lengkap dibandingkan jenis ikan lain (lihat grafis, Red),” katanya kepada Radar Malang (Grup Jawa Pos) kemarin (19/9).
Sayangnya, kata dia, selama ini masyarakat masih memiliki kesan bahwa makan ikan kutuk sama halnya memakan ular. Memang, penampilan ikan kutuk mirip ular. Padahal, ikan kutuk adalah ikan air tawar yang bersifat karnivora. Makanannya adalah cacing, katak, anak-anak ikan, udang, insekta, dan ketam. Ciri fisiknya, memiliki tubuh sedikit bulat, panjang, bagian punggung cembung, perut rata, dan kepala pipih, sehingga lebih mirip ular. Bagian punggung berwarna hijau kehitaman dan bagian perut putih atau krem. “Ikan kutuk bisa mencapai panjang 90-110 cm.
Karena itu, tiga ekor saja bisa mencapai berat 2 kg,” ungkapnya. Eddy menjelaskan, ikan kutuk banyak ditemui di sungai, rawa, air payau berkadar garam rendah, bahkan mampu hidup di air kotor dengan kadar oksigen rendah. Ikan jenis itu banyak dijumpai di perairan umum Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, Flores, dan Ambon. Hanya, nama ikan gabus di masing-masing daerah berbeda. “Di Jawa, selain disebut kutuk, dikenal dengan ikan tomang,” kata pembantu dekan II Faperik Unibraw tersebut.
Lantas, bagaimana teknis ikan gabus berperan dalam penambahan albumin Dalam tubuh manusia, albumin (salah satu fraksi protein) disintesis oleh hati kira-kira 100-200 mikrogram/g jaringan hati setiap hari. Albumin didistribusikan secara vaskuler dalam plasma dan secara ekstravaskuler dalam kulit, otot, serta beberapa jaringan lain. “Sintesis albumin dalam sel hati dipengaruhi faktor nutrisi. Terutama, asam amino, hormon, dan adanya satu penyakit,” tegasnya.
Gangguan sintesis albumin, kata Eddy, biasanya terjadi pada pengidap penyakit hati kronis, ginjal, serta kekurangan gizi. Sebenarnya, daging ikan gabus tidak hanya menjadi sumber protein, tapi juga sumber mineral lain. Di antaranya, zinc (seng) dan trace element lain yang diperlukan tubuh. Hasil studi Eddy pernah diujicobakan di instalasi gizi serta bagian bedah RSU dr Saiful Anwar Malang. Uji coba tersebut dilakukan pada pasien pascaoperasi dengan kadar albumin rendah (1,8 g/dl). “Dengan perlakuan 2 kg ikan kutuk masak per hari, telah meningkatkan kadar albumin darah pasien menjadi normal (3,5-5,5 g/dl),” ujarnya.
MALANG, Kompas - Guru besar pertama untuk Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (Unibraw) akan dikukuhkan hari Sabtu (4/1) ini, dengan materi pidato pengukuhan mengenai hasil penelitian albumin pada ikan gabus. Penelitian ini sangat berpotensi untuk menggantikan serum albumin yang mencapai Rp 1,3 juta per 10 mililiter.
Demikian disampaikan Prof Dr Ir Eddy Suprayitno MS dalam jumpa pers, Jumat (3/1), di Malang. Ia hari ini akan dikukuhkan sebagai guru besar pertama untuk Fakultas Perikanan Unibraw.
Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar 60 persen. Manfaatnya untuk pembentukan jaringan sel baru. Di dalam ilmu kedokteran, albumin ini dimanfaatkan untuk mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang terbelah, misalnya karena operasi atau pembedahan.
Pada masa krisis saat ini, impor serum albumin yang dimanfaatkan sering membebani biaya pasien. Untuk satu kali pembedahan, penggunaan serum ini bisa mencapai tiga kali 10 mililiter itu.
Pada penelitian Eddy, ternyata di dalam ikan gabus atau dikenal secara lokal sebagai ikan kutuk ini, terdapat albumin pula. Dan, ini tidak terdapat pada jenis ikan konsumsi lainnya, seperti ikan lele, nila, mas, gurami, dan sebagainya.
“Masyarakat sampai sekarang sangat sedikit yang mengenal manfaat ikan gabus ini. Padahal, ikan gabus ini masih mudah ditemukan,” kata Eddy.
Salah satu lokasi yang banyak ditemukan jenis ikan gabus, di antaranya di Bendungan Sengguruh atau bendungan lainnya. Masyarakat setempat yang berpencaharian mencari ikan sering memperoleh jenis ikan gabus ini. Tetapi, hasilnya masih jarang digunakan untuk menunjang kegiatan medis, terutama bertujuan untuk menggantikan serum albumin yang mahal itu.(NAW)

Sumber :
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0301/04/jatim/70587.htm
Terakhir di update pada Selasa, 17 Maret 2009 12:10

TINGKAT ALBUMIN DALAM AIR SENI YANG LEBIH TINGGI PADA ODHA KAITANNYA DENGAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG Dan GINJAL

Rabu, 07 Januari 2009 23:52

Oleh: Michael Carter, aidsmap.com Tgl. laporan: 4 Mei 2007
Orang HIV-positif berisiko lebih tinggi secara bermakna terhadap adanya sejumlah kecil protein dalam air seni yang menunjukkan risiko lebih tinggi terhadap penyakit jantung dan ginjal, berdasarkan tulisan para peneliti Amerika dalam jurnal AIDS edisi 11 Mei 2007.
Para peneliti membandingkan mikroalbuminuria – keberadaan sejumlah kecil protein albumin dalam air seni, tanda adanya penyakit ginjal dan jantung – dalam kelompok pasien HIV-positif dan pasangan HIV-negatif yang seusia dalam kelompok kontrol. Penelitian ini menemukan bahwa prevalensi mikroalbuminuria tinggi adalah lebih tinggi secara bermakna pada pasien HIV-positif. Keberadaan mikroalbuminuria pada pasien HIV-positif secara bermakna dihubungkan dengan faktor risiko umum terhadap penyakit jantung serta juga faktor lain terkait HIV, yang paling menonjol sistem kekebalan yang lemah.
Penyakit ginjal, melibatkan gejala seperti protein dalam air seni atau peningkatan pengeluaran kreatinin, selama ini sudah sangat diketahui sebagai komplikasi penyakit HIV. Penelitian yang dilakukan sebelum terapi anti-HIV yang manjur tersedia memberi kesan bahwa antara 19-34% orang HIV-positif mempunyai tingkat albumin dalam air seni yang lebih tinggi.
Para peneliti tertarik pada pengamatan ini karena mikroalbuminuria dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung pada masyarakat umum. Karena ada semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa ART dapat meningkatan risiko penyakit jantung, maka para peneliti berharap untuk menentukan apakah mikroalbuminuria lebih sering muncul pada pasien HIV-positif dibandingkan pasangan HIV-negatif yang seusia dalam kelompok kontrol. Para peneliti juga berharap untuk melihat apakah ada faktor lain memprediksi peningkatan mikroalbuminuria pada pasien HIV-positif.
Populasi yang diamati terdiri dari orang yang mendaftar pada kelompok penelitian lintas sektoral Study of Fat Redistribution and Metabolic Change in HIV Infection (FRAM). Populasi kontrol terdiri dari sampel laki-laki dan perempuan Amerika yang berkulit putih dan yang keturunan Afrika berbasis populasi. yang dilibatkan dalam penelitian CARDIA.
Kepekatan albumin dan kreatinin diukur dari tes air seni langsung, dan para peneliti menghitung rasio albumin terhadap kreatinin (ACR), dengan ACR di atas 30mg/g didefinisikan sebagai mikroalbuminuria. Data risiko terhadap penyakit jantung juga dikumpulkan, termasuk tekanan darah, tingkat insulin dan glukosa, riwayat penyakit jantung dalam keluarga dan merokok. Untuk pasien HIV-positif, para peneliti mengambil informasi tentang jumlah CD4 dan viral load.
Mikroalbuminuria ditemukan pada 11% pasien HIV-positif dan 2% kelompok kontrol, perbedaan yang bermakna secara statistik (p < 0,001). Perbedaan ini tetap bermakna walapun para peneliti menyesuaikannya dengan prediktor mikroalbuminuria yang umum (p = 0,0008).
Prediktor mikroalbuminuria pada pasien HIV-positif yang bermakna adalah usia yang lebih tua (p = 0,02), dan ras Amerika keturunan Afrika       (p = 0,001). Berbagai faktor terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung juga sangat dikaitkan dengan mikroalbuminuria pada pasien HIV. Ini adalah tekanan darah sistolik yang lebih tinggi (p = 0,01), riwayat hipertensi dalam keluarga (p = 0,03), dan glukosa dalam air seni (p = 0,002). Akan tetapi merokok tidak dikaitkan secara bermakna terhadap mikroalbuminuria.
Faktor terkait HIV yang secara specifik dikaitkan dengan mikroalbuminuria adalah jumlah CD4 cell di bawah 200 (p = 0,05), viral load pada saat penelitian (p = 0,05), dan pengobatan dengan NNRTI (p < 0,05).
“Analisis ini menunjukkan bahwa infeksi HIV adalah faktor risiko yang kuat terhadap kejadian mikroalbuminuria, tidak terkait faktor risiko terhadap penyakit ginjal”, para peneliti menulis.
Keberadaan tanda penyakit ginjal dan jantung pada pasien HIV-positif dengan mikroalbuminuria, mungkin karena peningkatan risiko penyakit jantung akibat komplikasi metabolisme akibat beberapa jenis antiretroviral.
Para peneliti menyimpulkan, “prevalensi tinggi terhadap mikroalbuminuria pada orang HIV dapat menjadi pertanda peningkatan risiko penyakit ginjal dan jantung di masa yang akan datang. Penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang menentukan makna prognostik mikroalbuminuria pada orang yang terinfeksi HIV.”
Ringkasan: Levels of albumin in urine higher in people with HIV, association with risk of heart and kidney disease
Sumber: Szczech LA et al. Microalbuminuria in HIV infection. AIDS 21: 1003 – 1009, 2007.
 *********************

Gabus Temuan Sang Profesor

Selasa, 10 Februari 2009 01:15

SUATU hari Eddy Suprayitno berburu ikan gabus. Hasil tangkapannya langsung dikukus. Air yang menetes dari ikan bernama latin Ophiocephalus striatus itu kemudian diteliti di laboratorium. Eureka! Dosen perikanan, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu menemukan kadar albumin cukup tinggi dalam kandungan ekstrak sang gabus.

Menurut teori, kandungan albumin yang tinggi bisa mempercepat kesembuhan luka operasi dan luka bakar. Eddy lalu mengumpulkan 12 ekor tikus putih untuk menguji teori tersebut. Setelah berhasil, pria kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, 43 tahun lalu itu mengirimkan resepnya ke Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang. Ekstrak dari 2 kilogram ikan gabus per hari diberikan pada sejumlah pasien yang memiliki kadar albumin rendah (1,8 g/dl).

Hasilnya, setelah delapan hari, kadar albumin di darah pasien menjadi normal, yakni 3,5-5,5 g/dl, dan luka operasi sembuh tanpa efek samping. Albumin merupakan protein yang paling banyak terkandung dalam plasma, sekitar 60% dari total plasma, atau 3,5 sampai 5,5 g/dl. Protein, yang banyak dijumpai pada telur, darah, dan susu ini memiliki fungsi biologis pengangkut asam lemak dalam darah.

Albumin juga berperan mengikat obat-obatan yang tidak mudah larut, seperti aspirin, antikoagulan koumarin, dan obat tidur. Selain mengobati luka bakar dan luka pascaoperasi, albumin bisa digunakan untuk menghindari timbulnya sembap paru-paru dan ginjal, serta carrier faktor pembekuan darah.

Sejak 1999, Eddy menggeluti penelitian itu. Hasilnya, Sabtu dua pekan lalu, suami Titik Dwi Sulistyai itu dikukuhkan sebagai guru besar (termuda) ilmu biokimia di Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya. "Saya ingin meningkatkan status ikan gabus dan membantu masyarakat kecil," katanya.

Eddy mengaku terinspirasi orang-orang Cina yang mengobati luka bakar dengan memakan ikan gabus. Selama ini, untuk mengobati luka bakar dan pascaoperasi digunakan serum human albumin yang diproduksi dari darah manusia. Untuk mengobati luka pascaoperasi dibutuhkan tiga ampul serum albumin, Rp 1,3 juta per ampulnya. "Kasihan orang yang tidak mampu," ujar Eddy, yang memperoleh gelar doktor-nya di Universitas Airlangga, Surabaya.

Dengan meminum ekstrak ikan gabus, pasien hanya membutuhkan 24 kilogram ikan gabus untuk menyembuhkan luka operasi atau luka bakar. Malah, menurut Eddy, luka dapat sembuh tiga hari lebih cepat ketimbang menggunakan serum albumin. Jika harga sekilo ikan gabus Rp 20.000, total biaya tak lebih dari Rp 500.000.

Namun, Hafid Bajamal, ahli bedah pada Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, berpendapat lain. Katanya, pemberian albumin hanya dilakukan bila tubuh benar-benar membutuhkan. Alasannya, proses penyembuhan luka sudah diatur tubuh. Penderita luka pascaoperasi, menurut Hafid, lebih efektif menggunakan serum albumin.

Dokter di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, itu mengakui, rumah sakit tempatnya bekerja pernah menggunakan ekstrak ikan gabus untuk menyembuhkan luka pascaoperasi, tapi hasilnya tak seperti yang diharapkan. "Pemberian albumin ikan gabus lebih cocok untuk penyembuhan jangka panjang," katanya.

Toh, temuan Eddy sudah dilirik PT Otsuka Indonesia, produsen cairan infus yang bermarkas di Lawang, Malang. Kini, Eddy melanjutkan penelitian untuk memproduksi albumin dalam bentuk salep dan bubuk. "Saya ingin tahu, mana yang lebih efektif," katanya.

Heru Pamuji, dan Rachmat Hidayat (Surabaya)
Kesehatan, GATRA, Nomor 09 Beredar Senin 13 Januari 2003